Dunia musik sering kali menghadirkan cerita-cerita unik tentang ketenaran. Di satu sisi, ada lagu yang meledak dan langsung dipahami pesannya secara universal, seperti yang terjadi di kancah musik pop Indonesia. Di sisi lain, ada fenomena di mana sebuah band bisa menjadi dewa di benua mereka sendiri, namun nyaris tidak terdengar di belahan dunia lain.
Kisah ini menyoroti dua contoh yang sangat kontras dari era 2010-an: sebuah hit besar dari Citra Scholastika dan perjalanan karier band rock masif asal Skotlandia, Biffy Clyro.
Gema “Everybody Knew” di Tanah Air
Pada tahun 2011, Citra Scholastika merilis sebuah singel berjudul “Everybody Knew” dari albumnya “Pasti Bisa”. Lagu yang ia ciptakan sekaligus populerkan ini dengan cepat menjadi salah satu hit besar di Indonesia. Tema lagu ini sangat lugas dan relevan: sebuah kesadaran pahit setelah melihat mantan kekasih bersama orang lain.
Liriknya menceritakan tentang hilangnya penyesalan dan hasrat, karena pada dasarnya, “semua orang tahu” bahwa sang mantan adalah seorang “liar” (pembohong) dan “player” (tukang main hati) yang tidak pernah serius. Ironisnya, pengakuan bahwa “semua orang tahu” justru membawa kelegaan, seolah-olah sang penyanyi akhirnya terbebas dari ilusi dan tidak lagi memiliki kenangan atau harapan.
Biffy Clyro: Raja di Kandang, Asing di Seberang
Sementara Citra menikmati sukses besar di pasar domestik, sebuah ironi ketenaran yang berbeda terjadi di Eropa. Band rock Skotlandia, Biffy Clyro, selama dua dekade terakhir telah secara konsisten mendominasi kancah rock mainstream di Inggris dan sebagian besar Eropa. Namun, mereka tidak pernah berhasil menembus pasar Amerika Utara.
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak era Invasi Inggris di tahun 60-an, banyak musisi Eropa yang kesulitan meraih sukses di Amerika. Meskipun ada pengecualian seperti Rammstein atau Måneskin, artis legendaris seperti Blur dan Oasis pun memiliki basis penggemar yang jauh lebih kecil di AS. Biffy Clyro adalah contoh paling mencolok dari perbedaan ini; mereka adalah raksasa di rumah, tetapi hampir tidak dikenal di luar pasar asli mereka.
Evolusi Musik dari Sampul Nirvana
Dibentuk pada tahun 1995 untuk memainkan lagu-lagu cover Nirvana, Biffy Clyro memiliki formasi yang luar biasa konsisten selama 30 tahun, terdiri dari vokalis Simon Neil serta duo ritme bersaudara James dan Ben Johnston. Mereka memulai karier di jalur underground, memainkan musik yang memadukan math-rock dan grunge.
Titik balik mereka terjadi pada tahun 2007 melalui album “Puzzle”, sebuah penghormatan tulus Neil untuk mendiang ibunya. Album ini menampilkan struktur lagu yang lebih konvensional dan mudah diakses, didukung oleh eksplorasi elemen orkestra yang mendalam. Lagu-lagu emosional seperti “Folding Stars” dan “Machines” membawa mereka ke panggung utama di Inggris. Kesuksesan ini berlanjut lewat album “Only Revolutions” (2009) dan “Opposites” (2013), yang mengukuhkan status mereka sebagai penampil utama di berbagai arena dan festival besar.
Resep Sukses: Progresif, Pop, dan Panggung Intens
Dua aspek utama yang membedakan Biffy Clyro dari band sebayanya adalah kemampuan menulis lagu dan aksi panggung mereka. Mereka dikenal mampu menggabungkan genre yang seharusnya tidak menyatu, menghasilkan lagu yang terasa proggy (progresif) sekaligus poppy. Mereka tidak takut bereksperimen, mulai dari menggunakan band mariachi hingga mengambil inspirasi dari black metal dan reggae.
Selain itu, Biffy Clyro diakui sebagai salah satu penampil live terbaik abad ke-21. Simon Neil pernah berkata, “Saya tidak berpikir ada yang bisa naik panggung bersama kami dan bermain sebaik kami.” Intensitas inilah yang membuat mereka mampu menjual habis tiket di arena berkapasitas 20.000 penonton seperti O2 Arena.
Paradoks Kesuksesan: ‘Takut pada Melodi’
Kenyamanan yang datang dari kesuksesan besar di Inggris memungkinkan Biffy Clyro untuk terus bereksplorasi. Album “Ellipsis” (2016) adalah karya mereka yang paling lugas dan lembut. Namun, popularitas ini justru membawa mereka ke titik di mana mereka, dalam pengakuan mereka sendiri, menjadi “takut pada melodi” yang terlalu ramah pop.
Dalam beberapa tahun terakhir, mereka seolah berusaha merebut kembali sisi progresif mereka melalui rilisan seperti “A Celebration of Endings” dan “The Myth of the Happily Ever After”. Alhasil, Biffy Clyro tetap menjadi sebuah studi kasus menarik: sebuah band yang sangat sukses hingga mereka takut pada kesuksesan itu sendiri, namun pada saat yang sama, kesuksesan besar mereka gagal total melintasi Samudra Atlantik.