Ketegangan di Tubuh Inter dan Refleksi Boniek tentang Wajah Baru Sepak Bola Italia

Kekalahan Inter Milan atas Atletico Madrid menyisakan cerita panas dari ruang ganti, terutama terkait reaksi keras sang kapten, Lautaro Martinez. Di sisi lain, situasi sepak bola Italia saat ini memancing komentar mendalam dari legenda Juventus, Zibi Boniek, yang membandingkan mentalitas pemain zaman sekarang dengan era keemasan Serie A.

Drama Pergantian Pemain dan Kemarahan Lautaro

Laga melawan Atletico Madrid menjadi malam yang ingin segera dilupakan oleh Lautaro Martinez. Selama 73 menit berada di lapangan, penyerang asal Argentina itu gagal memberikan dampak signifikan bagi tim. Puncaknya terjadi ketika pelatih Cristian Chivu memutuskan untuk menariknya keluar di pertengahan babak kedua. Keputusan teknis ini, yang merupakan kali kedua berturut-turut setelah pergantian serupa di laga derbi, memicu reaksi yang tak bisa disembunyikan.

Lautaro jelas tidak terima. Saat melihat nomor punggung 10 menyala di papan pergantian pemain, ia menggelengkan kepala sebagai tanda ketidaksetujuan yang nyata. Kekecewaannya berlanjut hingga ke bangku cadangan, di mana ia terlihat membanting botol air minum dengan penuh emosi, meluapkan kemarahannya karena tidak bisa menuntaskan pertandingan.

Statistik musim ini memang menjadi beban tersendiri bagi pemain berjuluk “El Toro” tersebut. Meski tampil garang di Liga Champions dengan torehan empat gol melawan tim-tim seperti Slavia Praha dan Union SG, Lautaro justru tumpul saat menghadapi tim-tim raksasa. Ia tercatat belum mencetak gol saat melawan Juventus, Napoli, AS Roma, AC Milan, dan terakhir Atletico Madrid. Padahal, laga kemarin adalah penampilannya yang ke-62 di Liga Champions bersama Inter, menyamai rekor Esteban Cambiasso, meski masih jauh di bawah Javier Zanetti yang memimpin dengan 97 penampilan. Ekspektasi tinggi tentu wajar disematkan padanya.

Sinar Terang Zielinski dan Dukungan Manajemen

Di tengah kekecewaan tersebut, Piotr Zielinski muncul sebagai pembeda. Bermain selama 65 menit, gelandang asal Polandia ini menunjukkan kualitasnya dengan mencetak satu gol, memenuhi janji yang pernah ia ucapkan kepada para pendukung Inter September lalu bahwa mereka akan melihat versi terbaik dirinya musim ini. Meski di liga domestik ia masih sering menjadi pelapis, di kancah Eropa Zielinski hampir selalu menjadi pilihan utama.

“Kami kecewa dengan hasil ini, kalah setelah bermain bagus itu selalu menyakitkan,” ujar Zielinski usai laga. Ia mengakui timnya kehilangan konsentrasi di lini belakang yang berujung pada kebobolan. “Gol saya jadi tidak berarti, tapi kami adalah tim besar dan akan bangkit. Secara performa kami ada, hanya perlu lebih fokus bertahan dan mencetak lebih banyak gol.”

Senada dengan Zielinski, bek Yann Bisseck juga merasa hasil akhir tidak mencerminkan jalannya pertandingan. “Kami tidak pantas kalah. Kami memberikan segalanya, mereka hanya punya 2-3 peluang tapi jadi 2 gol. Ini menyakitkan, tapi kami harus terus bekerja keras,” tegasnya.

Sementara itu, CEO Inter, Beppe Marotta, sebelum laga sempat memberikan komentar terkait rumor Diego Simeone dan masa depan kursi pelatih Inter. Marotta menanggapi santai pujian Simeone terhadap Inter, dan justru menegaskan dukungannya kepada Chivu. “Kami memiliki pelatih muda seperti Chivu dan saya berharap ia bisa bertahan bertahun-tahun di sini karena ia memenuhi kriteria yang kami cari,” ujar Marotta.

Nostalgia Boniek: Juventus yang “Normal” dan Hilangnya Persahabatan

Bergeser dari dinamika Inter, legenda sepak bola Polandia dan Juventus, Zibi Boniek, memberikan pandangan kritisnya mengenai pergeseran budaya di sepak bola Italia. Dalam peluncuran film dokumenter tentang dekade emas Juventus (1975-1985), Boniek tak menampik adanya rasa rindu terhadap atmosfer sepak bola masa lalu.

Boniek menyoroti bagaimana teknologi dan media sosial telah mengubah interaksi antar pemain. “Dulu di ruang ganti kami hanya bicara satu bahasa, Italia. Persahabatan antar pemain lebih erat karena rivalitas internal lebih sedikit. Sekarang, dengan media sosial, setiap orang menciptakan dunianya sendiri,” kenang Boniek. Ia juga menyindir fenomena pemain masa kini yang lebih sibuk dengan headphone mereka dan mengisolasi diri, berbeda dengan zamannya di mana ia biasa bermain kartu bersama Dino Zoff dan Marco Tardelli.

Ketika disinggung mengenai mantan klubnya, Boniek menilai Juventus saat ini telah mengalami “normalisasi”. Menurutnya, Juventus dulu adalah tim yang dipenuhi juara sejati seperti Vialli dan Baggio, sebuah entitas yang sangat disegani. “Sekarang saya melihat pemain bagus, tapi Juve hari ini sama seperti tim lainnya. Dulu, jika ada klub ingin menjual pemain, mereka akan menelepon Juve dulu,” ujarnya. Ia bahkan sedikit menyentil momen ketika Andrea Agnelli turun ke lapangan berbicara di depan mikrofon ultras, sesuatu yang menurutnya tidak akan terjadi di era Gianni Agnelli.

Prediksi Musim dan Sepak Bola Modern

Mengenai peta persaingan Serie A musim ini, Boniek memprediksi pertarungan ketat akan terjadi antara AC Milan, Inter, Napoli, dan AS Roma, sembari memuji kualitas pelatih Gian Piero Gasperini. Ia juga memberikan pandangannya tentang penggunaan VAR, di mana meski Polandia adalah salah satu negara pertama yang menerapkannya, ia mengaku bukan penggemar berat teknologi tersebut karena dianggap menghilangkan unsur “pengamatan mata wasit” dan justru memicu perdebatan baru soal sentimeter.

Menutup wawancaranya, Boniek menyoroti pentingnya sebuah kekalahan sebagai pelajaran, jauh lebih berharga daripada kemenangan. “Lima menit setelah kalah di final Piala Champions melawan Hamburg, Tardelli bilang ke saya: ‘Sekarang kita harus juara liga supaya bisa kembali ke kompetisi ini’. Kekalahan membuatmu tidak bisa tidur dan terus berpikir, sementara kemenangan membuatmu tidur nyenyak seperti bayi,” pungkasnya.