Masa Depan Pendidikan di Era AI: Menjadi Pencipta, Bukan Sekadar Pengguna

Masa Depan Pendidikan di Era AI: Menjadi Pencipta, Bukan Sekadar Pengguna

Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi topik yang popularitasnya terus meroket setiap hari. Namun, kehadirannya juga memicu kontroversi, terutama terkait penggunaannya di ruang kelas. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya 39% warga yang percaya bahwa manfaat AI lebih besar daripada potensi kerugiannya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa kita berada di momen penting dalam dunia pendidikan, di mana AI secara cepat terintegrasi ke dalam setiap aspek kehidupan kita.

Dua Sisi Mata Uang di Ruang Kelas

Perdebatan mengenai pemanfaatan platform ini semakin memanas. Di satu sisi, ada pandangan bahwa siswa seharusnya diizinkan menggunakan AI untuk tugas menulis, seperti esai atau makalah penelitian. Alasannya, teknologi ini dapat menghemat waktu dan mengurangi stres yang dialami siswa.

Namun, penting untuk mengenali potensi bahayanya dan memahami pandangan yang berlawanan. Mira Assaf, seorang asisten profesor di departemen Bahasa Inggris, menyuarakan keprihatinannya tentang dampak AI pada proses belajar. “Bisa dibilang, Anda bisa mendapatkan fakta dari AI, tetapi fakta yang dikumpulkan bukanlah pengetahuan kritis,” ujar Assaf. “Belajar itu bersifat relasional, sensasi yang Anda dapatkan saat menguasai keterampilan, atau saat Anda mengalami frustrasi sebagai pemula.”

Profesor Assaf menekankan pentingnya siswa belajar “dengan cara yang sulit” dan tidak hanya mengandalkan jalan pintas. Kepuasan yang kita rasakan setelah memecahkan masalah atau menulis makalah yang menantang secara mandiri adalah hal yang sangat berharga.

Hilangnya “Suara” Manusia

Kekhawatiran serupa diungkapkan oleh Dan Barden, seorang profesor Bahasa Inggris. Ia mengibaratkan tulisan AI seperti “makalah omong kosong” yang diajarkan di sekolah menengah. “Anehnya, jika dibiarkan begitu saja, itulah yang dilakukan ChatGPT. Ia hanya menulis sesuatu yang tidak terdengar hangat atau manusiawi,” katanya.

Barden menyoroti bahwa ketika siswa meminta AI untuk menuliskan tugas mereka, mereka pada dasarnya menghilangkan “suara” mereka sendiri dari tulisan itu. Bagi para pengajar yang benar-benar membaca dan mencerna tulisan mahasiswa mereka, perbedaan antara karya manusia dan robot akan sangat kentara. Karakteristik terindah dari menulis adalah setiap orang memiliki suara yang unik dan berharga, sementara AI memiliki nada yang generik dan klise.

Menetapkan Batasan: Asisten, Bukan Pengganti

Meskipun demikian, AI tidak harus menjadi sesuatu yang besar, buruk, dan menakutkan. Kita dapat mengubah perspektif kita dan melihatnya sebagai alat bantu yang positif. Kuncinya mungkin terletak pada kompromi dan penetapan batas yang jelas.

Genesis Washington, seorang mahasiswa, berpendapat bahwa AI boleh saja digunakan untuk membantu membuat panduan belajar atau garis besar (outline). “Namun, meminta jawaban langsung atau menuliskan esai untuk Anda, di situlah Anda harus menarik garis. Anda harus memiliki batasan,” tegasnya.

Pandangan ini sejalan dengan tujuan desain AI itu sendiri. Microsoft, misalnya, mendeskripsikan platform AI mereka, Copilot, sebagai “asisten yang membantu meningkatkan produktivitas dan menyederhanakan alur kerja.” Jika kita dapat menemukan cara menggunakan AI untuk membantu, bukan untuk menyelesaikan seluruh tugas, kita dapat mengubah pandangan negatif terhadap teknologi ini.

Kegagalan Imajinasi: Fokus pada ‘Penggunaan’ Saja

Masalahnya, percakapan seputar literasi AI di dunia pendidikan saat ini seringkali terlalu fokus pada bagaimana guru dan siswa dapat menggunakan alat AI secara efektif. Pertanyaan yang sering muncul adalah, “Jika AI bisa menulis kode, mengapa harus mengambil kelas ilmu komputer?”

Fokus semacam ini adalah sebuah “kegagalan imajinasi”. Mengajari siswa hanya untuk membuat ‘prompt’ yang lebih baik adalah sebuah kesalahan. Kita pernah melakukan kesalahan serupa lebih dari 20 tahun lalu, ketika banyak sekolah mengganti pelajaran ilmu komputer (Computer Science/CS) dengan kursus tentang cara menggunakan aplikasi seperti pengolah kata dan spreadsheet. Hasilnya adalah satu generasi yang tertinggal dalam menciptakan teknologi yang kita andalkan saat ini. Keterampilan menggunakan aplikasi akan cepat usang dan tidak mengajarkan keterampilan berpikir komputasional yang mendasar.

Solusi Fondasi: Pentingnya Ilmu Komputer

Untuk mempersiapkan siswa menghadapi masa depan, kita harus membekali mereka dengan pengetahuan untuk menjadi arsitek dunia yang digerakkan oleh AI, bukan hanya pengguna. Ini hanya mungkin dilakukan dengan pendidikan dasar ilmu komputer (CS) untuk setiap siswa.

Cara terbaik untuk mempersiapkan siswa adalah dengan mengajari mereka cara kerja AI. Ini mencakup peran manusia dalam menciptakan AI, bagaimana komputer merepresentasikan dan menalar dunia, pembelajaran mesin dan data, desain sistem AI yang etis, serta dampak sosialnya. Keterampilan yang tahan lama ini akan membantu semua orang—dari calon teknisi listrik hingga perawat, dan bahkan insinyur perangkat lunak—untuk menggunakan dan membentuk alat-alat ini secara bijak.

Membangun Masa Depan Bersama AI

Tantangannya jelas: kita harus mempersiapkan setiap siswa untuk sukses di dunia yang ditenagai oleh komputasi. Kabar baiknya, lanskap saat ini sudah mendukung. Laporan State of Computer Science menunjukkan 44 negara bagian di AS telah memiliki standar untuk mengajarkan keterampilan dasar ini.

Selain itu, survei dari Computer Science Teachers Association (CSTA) mengungkapkan bahwa 80% guru ilmu komputer percaya AI adalah bagian inti dari kurikulum. Ini adalah fondasi yang sempurna untuk mengajari siswa cara kerja AI.

Umat manusia tidak seharusnya lari dari AI; kita harus bekerja bersamanya. Pendidik harus mengajari siswa cara menggunakan AI secara bertanggung jawab, dengan integritas dan kontrol diri. Daripada takut AI akan menggantikan kita, kita harus membangun gerakan untuk melibatkan setiap pendidik dan siswa agar menjadi pencipta, bukan hanya pengguna, teknologi masa depan.